Madrasah Aliyah 45 Gianyar,- Madrasah bukan sekadar tempat menimba ilmu. Ia adalah rumah besar tempat
nilai, akhlak, dan semangat keislaman tumbuh bersama. Di dalamnya, guru
memiliki peran lebih dari sekadar pengajar — ia adalah teladan, penjaga moral,
dan penggerak kehidupan madrasah. Namun sayangnya, tak sedikit guru yang hadir
hanya secara fisik, tetapi hatinya jauh dari rasa memiliki. Guru yang demikian
adalah sosok yang kehilangan empati terhadap madrasah tempat ia
mengabdi.
1. Datang Mengajar, Pulang Tanpa Peduli
Guru yang kurang
empatik datang hanya untuk menunaikan kewajiban jam mengajar. Setelah itu, ia
segera pergi tanpa menyapa lingkungan sekitar. Tidak ada kepedulian terhadap
siswa, kegiatan, ataupun kondisi madrasah. Ia tidak merasa bagian dari keluarga
besar madrasah, melainkan hanya “pekerja kontrak” yang menunaikan tugas tanpa
rasa cinta.
2. Acuh terhadap Kebersihan Madrasah
Sikap acuh terhadap
kebersihan adalah tanda nyata hilangnya empati seorang guru. Ia melewati
halaman yang kotor tanpa berinisiatif memungut sampah kecil. Ia melihat ruang
kelas berantakan, tetapi menganggap itu bukan urusannya. Padahal, madrasah yang
bersih mencerminkan jiwa pendidik yang peduli dan berakhlak. Guru yang
berempati tidak hanya mengajarkan kebersihan kepada siswa, tetapi juga
mencontohkannya dengan tindakan nyata.
Kebersihan bukan sekadar tanggung jawab petugas kebersihan, melainkan cerminan
rasa cinta guru terhadap madrasahnya.
3. Enggan Terlibat dalam Kegiatan Madrasah
Guru yang memiliki
empati akan dengan sukarela terlibat dalam setiap kegiatan madrasah. Ia sadar
bahwa setiap acara—dari lomba hingga bakti sosial—adalah bagian dari
pembentukan karakter siswa. Sebaliknya, guru yang kehilangan empati cenderung
menghindar dengan berbagai alasan. Ia hadir hanya ketika diwajibkan, bukan
karena keinginan untuk berkontribusi.
4. Tidak Menjaga Nama Baik Lembaga
Guru yang empatik akan
menjaga marwah lembaganya, baik di dalam maupun di luar madrasah. Sedangkan
guru yang tidak empatik mudah mengeluh, bahkan mengkritik lembaganya sendiri di
hadapan masyarakat. Ia lupa bahwa setiap ucapannya adalah representasi madrasah
yang ia wakili. Menghargai lembaga berarti menghormati perjuangan bersama.
5. Kurang Peka terhadap Siswa dan Rekan Kerja
Empati juga terlihat
dalam interaksi sehari-hari. Guru yang tidak empatik sering gagal memahami
kondisi siswa yang sedang kesulitan. Ia cepat menegur, tetapi lambat mendengar.
Terhadap rekan kerja, ia pun bersikap dingin—lebih suka menilai daripada membantu.
Lingkungan kerja menjadi kaku dan kehilangan kehangatan ukhuwah.
6. Tidak Mau Berkembang Bersama Madrasah
Madrasah selalu
bergerak menuju kemajuan. Namun, guru yang kehilangan empati sering menolak
perubahan. Ia enggan belajar teknologi, malas berinovasi, dan merasa cukup
dengan cara lama. Padahal, madrasah yang hebat lahir dari guru-guru yang mau
tumbuh bersama.
Empati lahir dari rasa memiliki. Ketika guru mencintai madrasahnya, ia
akan peduli terhadap siswa, kebersihan, kegiatan, dan nama baik lembaga. Ia
tidak menunggu perintah untuk bertindak, karena hatinya sudah terpaut pada
pengabdian.
Madrasah akan tumbuh kuat bila guru-gurunya tidak hanya cerdas mengajar, tetapi
juga tulus mencintai dan peduli.

.jpeg)

Komentar
Posting Komentar